Makro Ekonomi atau Ekonomi Makro adalah cabang ilmu ekonomi
yang mempelajari prilaku dari unit-unit ekonomi individual,seperti: rumah
tangga, perusahaan, dan struktur industri. Ekonomi mikro membahas tentang
alokasi dan efisiensi sumber daya pasar. Jadi, pengertian ilmu ekonomi makro
adalah ilmu ekonomi yang mengkhususkan untuk mempelajari perilaku masyarakat
luas dalarn memenuhi kebutuhannya secara menyeluruh. Aspek analisisnya, antara
lain, meliputi berbagai masalah yang berkaitan dengan:
- pendapatan nasional,
- investasi,
- kesernpatan kerja,
- inflasi, dan
- neraca pembayaran.
Dalam perkembangannya, ilmu ekonomi makro berkaitan
pula dengan masalah ekonomi publik (negara), ekonomi moneter, ekonomi
pembangunan, dan sebagainya.
Permasalahan Ekonomi Makro
- Masalah Kemiskinan dan Pemerataan
Kemiskinan masih menjadi permasalahan klasik bangsa
Indonesia, terbukti jumlah kemiskinan pada tahun 1996 mencapai 11.4 % atau
sekitar 22,5 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk. Apalagi ketika masa krisis
pada tahun 1997, kemiskinan bertambah hingga 23,5 % atau 47 juta jiwa.
Pada tahun 2000 mengalami penurunan kemiskinan menjadi 19% dari jumlah
penduduk.
Dari segi distribusi pendapatan
nasional, penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan. Sebagian besar kekayaan
banyak dimiliki kelompok berpenghasilan besar atau kelompok kaya Indonesia.
- Krisis Nilai Tukar
Krisis mata uang yang telah mengguncang Negara-negara
Asia pada awal tahun 1997, akhirnya menerpa perekonomian Indonesia. Nilai tukar
rupiah yang semula dikaitkan dengan dolar AS secara tetap mulai diguncang
spekulan yang menyebabkan keguncangan pada perekonomian yang juga sangat tergantung
pada pinjaman luar negeri sector swasta. Pemerintah menghadapi krisis nilai
tukar ini dengan melakukan intervensi di pasar untuk menyelamatkan cadangan
devisayang semakin menyusut. Pemerintah menerapkan kebijakan nilai tukar yang
mengambang bebas sebagai pengganti kebijakan nilai tukar yang mengambang
terkendali.
- Masalah Utang Luar Negeri
Kebijakan nilai tukar yang mengambang terkendali pada
saat sebelum krisis ternyata menyimpan kekhawatiran. Depresiasi penurunan nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar ASyang relative tetap dari
tahun ke tahun menyebabkan sebagian besar utang luar negeri tidak dilindungi
dengan fasilitas lindung nilai (hedging) sehingga pada saat krisis nilai tukar
terjadi dalam sekejap nilai utang tersebut membengkak. Pada tahun1997, besarnya
utang luar negeri tercatat 63% dari PDB dan pada tahun 1998 melambung menjadi
152% dari PDB.
Untuk mengatasi ini, pemerintah melakukan penjadwalan
ulang utang luar negeri dengan pihak peminjam. Pemerintah juga menggandeng lembaga-lembaga
keuangan internasional untuk membantu menyelesaikan masalah ini.
- Masalah Perbankan dan Kredit Macet
Besarnya utang luar negeri mengakibatkan permasalahan
selanjutnya pada system perbankan. Banyak usaha yang macet karena meningkatnya
beban utang mengakibatkan semakin banyaknya kredit yang macet sehingga beberapa
bank mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan likuiditas makin parah ketika
sebagian masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap sejumlah bank sehingga
terjadi penarikan dana oleh masyarakat secarabesar-besaran (rush).
Goncangan yang terjadi pada system perbankan
menimbulkan goncangan yang lebih besar pada system perbankan secara
keseluruhan, sehingga perekonomian juga akan terseret ke jurang kehancuran.
Alasan-alasan di atas menyebabkan pemerintah memutuskan untuk menyelamatkan
bank-bank yang mengalami masalah likuiditas tersebut dengan memberikan bantuan
likuiditas. Namun untuk mengendalikan laju inflasi, bank sentral harus menarik
kembali uang tersebut melalui operasi pasar terbuka. Hal ini dilakukan dengan
meningkatnya suku bunga SBI. Kebijakan ini kemudian menimbulkan dilema karena
peningkatan suku bunga menyebabkan beban bagi para peminjam (debitor).
Akibatnya tingkat kredit macet di system perbankan meningkat dengan pesat. Dilema
semakin kompleks di saat system perbankan mencoba mempertahankan likuiditasyang
mereka miliki dengan meningkatkan suku bungan simpanan melebihi suku bunga
pinjaman sehingga mereka mengalami kerugian yang berakibat pengikisan modal
yang mereka miliki.
- Masalah Inflasi
Masalah inflasi yang terjadi di Indonesia tidak
terlepas kaitannya dengan masalah krisis nilai tukar rupiah dan krisis
perbankan yang selama ini terjadi. Pada tahun 2004 tingkat inflasi Indonesia
pernah mencapai angka 10,5%. Ini terjadi karena harga barang-barang terus naik
sebagai akibat dari dorongan permintaan yang tinggi. Tingginya laju inflasi
tersebut jelas melebihi sasaran inflasi BI sehingga BI perlu melakukan
pengetatan di bidang moneter. Pengetatan moneter tidak dapat dilakukan secara
drastic dan berlebihan karena akan mengancam kelangsungan proses penyehatan
perbankan dan program restrukturisasi perusahaan.
- Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran
Menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi tahun
2005-2006 tercermin dari anjloknya daya serap pertumbuhan ekonomi terhadap
angkatan kerja. Bila di masa lalu setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu
menciptakan lapangan kerja hingga 240 ribu maka pada 2005-2006 setiap
pertumbuhan ekonomi hanya mampu menghasilkan 40-50 ribu lapangan kerja.
Berkurangnya daya serap lapangan kerja berarti meningkatnya penduduk miskin dan
tingkat pengangguran. Untuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan,
pemerintah perlu menyelamatkan industry-industri padat karya dan perbaikan
irigasi bagi petani.